Tampilkan entri lawas Harga Beras dan Kemiskinan: Keganjilan Analisa

Kelemahan lain kaitan harga beras dengan kemiskinan yang dibuat Bank Dunia, telah dibahas dengan baik oleh Sugema (2006). Ia mengatakan bahwa Bank Dunia keliru dalam menyimpulkan hubungan itu. Beras memang besar kontribusinya dalam inflasi, 23%. Namun peran non-beras jauh lebih tinggi mencapai 77%.
Ia juga menyebutkan bahwa hasil penelitiannya dan penelitian lain seperti yang dilakukan UNIDO dan UNSFIR, menemukan bahwa angka kemiskinan BPS amat sensitif dari pengaruh inflasi. Penyebab inflasi tidak sama dengan komponen inflasi. Harga beras adalah komponen inflasi, yang belum tentu penyebab inflasi itu sendiri.
Ia juga mengatakan bahwa adalah keliru kalau memfokuskan pengentasan kemiskinan dari sisi pengeluaran dan harga. Rendahnya pengeluaran keluarga miskin akibat dari ketidakmampuan mereka untuk memperoleh pendapatan yang layak. Peningkatan pendapatan dari pekerjaan yang mereka tekuni, meningkatkan produktivitas kerja, mendorong aktivitas padat kerja adalah solusi yang tepat untuk atasi kemiskinan (Sugema 2006).
Juga penting untuk disikapi secara kritis adalah cara pengukuran tingkat kemiskinan itu sendiri. Pengukuran kemiskinan sebelum krisis terlalu banyak bersandar pada kemiskinan pendapatan berdasarkan indikator konsumsi. Belum banyak memberikan perhatian pada konsep Sen (2000) tentang kemiskinan non-pendapatan. Sen mengatakan bahwa poverty as capability deprivation. Kemiskinan sebagai kehilangan/ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, perumahan, pendidikan dan pangan. Dimensi kemiskinan Sen terfokus pada non-income poverty, bukan kemiskinan pengeluaran.
Tingkat kemiskinan itu tidak sensitif terhadap harga maupun inflasi. Atas dasar inilah kemudian UNDP merancang kemiskinan manusia, bukan kemiskinan pendapatan. UNDP telah membuat indek tentang itu, yang disebut Human Development Index. Ini seharusnya menjadi acuan kita. Laporan tentang kemiskinan manusia telah dilakukan di Indonesia dengan bantuan UNDP sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2004 misalnya, dilaporkan tentang Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia, diterbitkan oleh BPS, Bappenas dan UNDP.
Dengan konsep ini Dhanani dan Islam (2000) misalnya, menghitung kemiskinan manusia di Indonesia sebesar 25%, bandingkan dengan kemiskinan pendapatan BPS hanya 11% pada 1996. Sayang, konsep kemiskinan manusia kurang dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah maupun nasional. Sehingga Indonesia amat terkebelakang di antara negara ASEAN dalam menyediakan dana untuk kesehatan yang terkait dengan harapan hidup, kematian bayi, akses terhadap air minum yang bersih, juga dana untuk pendidikan.
Oleh karena itu, kalau konsep kemiskinan manusia yang dipakai, maka harga beras atau pangan tidaklah sensitif sebagai penyebab kemiskinan. Capability poverty terkait dengan kemiskinan struktural dan kronis. Itu hanya mungkin dipecahkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pertumbuhan yang pro-poor, serta adanya intervensi pemerintah yang terarah ke orang miskin.


ulasan:
menurut saya kaitan kenaikan harga beras dengan kemiskinan hanyalah menurut pendapat para pejabat yang berkuasa atau pemerintah, karena kemiskinan bukanlah kesalahan rakyat itu sendiri yang tidak mau berusaha tetapi juga kesalahan pemerintah yang ingin mengentaskan kemiskinan hanya di mulut saja tetapi pelaksanaannya tidak ada.sedangkan kita adalah negara agraris tetapi mengapa negara kita harus mengimpor beras dari negara lain?alangkah baiknya jika pemerintah lebih fokus dalam perbaikan SDM negara kita.karena ada pepatah yang mengatakan:" yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Tampilkan entri lawas Harga Beras dan Kemiskinan: Keganjilan Analisa"

Posting Komentar