Gaji Para Cendekiawan

GAJI PARA CENDEKIAWAN (Cendekiawan yang memiliki beragam ilmu memperoleh imbalan dari sejumlah sumber)

Layaknya masa sekarang, sistem pembayaran kepada para professional berlaku pada masa pemerintahan islam. Sistem ini, tak sekadar imbalan atas jabatan atau profesi seseorang. Namun, juga sebagai penghargaan ilmu atau profesionalisme yang dimiliki seseorang.
Jabatan sebagia guru, dokter, maupun pejabat pemerintahan membuat seseorang memiliki gaji dan status social yang tinggi. Apalagi, mereka yang memiliki sejumlah kedudukan di beragam profesi yang ia geluti, tak heran, jika seseorang memiliki harta yang berlimpah melalui penghasilannya.
Pada masa kekhalifan di dunia Islam, para guru besar di lembaga pedidikan tinggi rata – rata mendapatkan gaji sekitar 10 dinar perbulan. Mereka mendapatkan gaji dari lembaga pendidikan yang berasal dari sunbangan par adermawan, penyewaan gedung, dan hasil panen.
Namun, berbeda dengan para guru besar fikih. Gaji yang ia terima bisa lebih besar dibandingkan guru besar lainnya. Sebab, ada guru besar fikih yang memiliki jabatan di tempat lainnya. Misalnya, ia menjabat sebagai hakim dipengadilan.
Bahkan, jika tempat mengajarnya di tempat penguasa, sang guru besar tersebut bisa sekaligus menjadi pengajar privat bagi anak – anak penguasa tersebut. Pun, bisa menjabat sebagai sekretaris atau pendamping penguasa.
Pendapatan yang paling besar diperoleh mereka yang selain memiliki mereka yang selain memiliki keahlian di bidang sastra juga berprofesi sebagai seorang ahli dokter. Ada sejumlah istilah yang merujuk gaji atau pendapatan bulanan, antara lain. Jirayah, jamikiyah, ratib, dab rizq.
George A. Makdisi dalam bukunya, Cita Humanisme Islam, menjelaskan, seorang penulis pernah mengungkapkan perjalanan karier seorang perdana menteri pada abad ke-10, bernama Abu Ja’far ibn Sirzd. Apda permulaan kariernya, ia di tawari gaji sebesar 10 dinar per bulan.
Tawaran ini diberikan ayahnya yang saat itu menjadi seorang kepala kantor. Namun, Abu Ja’far menolaknya, lalu ia melamar di Departemen Kekayaan Negara (Dhiwan al Dhiya). Ia diterima di tempat tersebut sebagai pegawai magang bidang akuntansi dengan gaji 20 dinar per bulan.
Ada seorang ahli bahasa, Hisyam ibn Mu’awiyah, meninggal pada 824 Masehi, mendapatkan gaji bulanan sebesar 10 dianr per bulan. Ini merupakan imbalan sebagai pengajar seorang anak dari seorang pejabat pemerintah.
Sedangkan, Ibn al-A’rabi yang merupakan murid at-Kisai mendapatkan gaji per bulan sebesar 1000 dirham atau 65 dianr. Bahkan, terungkap bahwa Pangeran Dinasti Tahiriyah, Muhammad ibn Abdullah, membayar Tsalab, seorang guru di lingkungan istana, sebesar 1000 dirham per bulan.
Kekayaan Tsalab berlimpah. Sebab, saat ia meninggal dunia, harta kekayaannya mencapai 12 ribu dinar. Di antara kekayaan tersebut berupa 3000 unit toko. Apalagi, Tsalab juga memiliki seorang murid yang memiliki harta warisan.
Tak heran, jika Al-Zajjaj mendapatkan hingga 300 dianr. Di sisi lain, seorang dokter mendapatkan bayaran tinggi. Misalnya, ada seorang doktre Kristen di masa kekuasaan Islam, Ibn Tilmidz, memiliki pendapatan tahunan yang jumlahnya lebih dari 20 ribu dinar.
Ada pula kisah tentang Muhadzdzab al-Din Ibn al Naqqasy. Ia merupakan seorang dokter dari Baghdad, Irak, pada abad ke-11. Ia pernah pergi ke kota Damaskus untuk mencari pekerjaan. Sayangnya, ia belum berhasil mendaptkan pekerjaan yang di harapkannya.
Al Naqqasy kemudian memutuskan utnuk bergegas ke Mesir yangsat itu di bawah kekuasaan Dinasti Fatimayah. Ia menemui seorang dokter kepala di Istana dan mengutarakan maksudnya. Gayung pun bersambut, ia mendapatkan pekerjaan di sana.
Lalu Al Naqqasy mendapatkan imbalan tiap bulan sebanyak 15 dinar. Ia pun mendapatkan apartemen lengkap dengan perabotannya, seperangkat pakaian mewah, dan seekor keledai terbaik. Di sisi lain, ia pun mendapatkan seorang budak.
Para cendekiawan yang menguasai sejumlah bidang humaniora, juga memiliki penghasilan dari keahliannya itu. Pada masa Khalifah Al Ma’mun, di tetapkan penggajian bagi cendekiawan di bidang humaniora. Di antaranya, imbalan atas penulisan atau penrjemahan sebuah karya.
Penerjemahan sebuah karya dari bahasa Yunani ke bahasa Arab, yang di lakukan seorang dokter bernama Hunayn Ibn Ishaq, Khalifah Al’mamun membayarnya dengan emas yang di dasarkan pada bobot dari buku tersebut.
Saat itu, Hunayn menggunakan kertas tebal untuk menuliskan terjemahannya. Sehingga, bobot buku terjemahan itu sangat berat dan ia mendapatkan pembayaran emas sangat banyak. Ia menjadi seorang karya raya dari imbalan atas jasa penerjemahannya itu.
Tak hanya gaji, ada pula bonus, hadiah, maupun honorarium yang di peroleh para cendekiawan Muslim tersebut. Seorang ahli Nahwu, Al ahmar, memperoleh honorarium yang besar dari bekas muridnya, yang bernama Al amin.
Al ahmar mengatakan pada suatu hari Ia duduk sebentar dengan Al amin. Muridnya yang kaya itu, memberinya sekantong uang berisi 3000 dirham. Menurut dia, setelah mendapatkan uang itu seketika ia menjadi orang kaya dan memutuskan untuk cuti dalam kurun beberapa saat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Gaji Para Cendekiawan"

Posting Komentar