Akuntansi Syari'ah Masih Fotokopi Akuntansi Konvensional

-UII News, Yogya – Pada saat ini kebanyakan kalangan memandang
akuntansi hanya sebagai dari pencatatan dan pelaporan. Dimana
Perusahaan hanya mencatatkan laba sebanyak-banyaknya. Subtansi
ekonomi konvensional lebih pada self Interest. Ini dikuatkan oleh
Soros bahwa Akuntansi syariah berprinsip pada self interest atau
sekularisme dalam akuntansi. Realitas ekonomi yang cenderung
kapitalisme dengan karakteristik KKN, sarat dengan ciri otoritas
kepentingan peribadi (self interest). Akibat dari rasionalitas
konsumsi yang lebih mendukung individualisme dan self interest, maka
keseimbangan umum tidak dapat dicapai. Yang terjadi adalah munculnya
berbagai ketimpangan dalam berbagai persoalan sosio-ekonomi. Untuk
itu perlu menginjeksikan nilai-nilai (values) dalam sektor konsumsi
sehingga tidak membahayakan bagi keselamatan manusia itu sendiri.
Ekonomi yang dipandu oleh keserakahan melalui peraihan
mekanisme nilai tambah yang tak terhingga, semakin menjauh dari
keridloan Allah SWT. Muara dari pada itu, adalah munculnya
keresahan, dan mendorong manusia hidup dalam keadaan yang senantiasa
konflik. Semangat konflik itu menyebabkan manusia menjadi lebih
menyenangi persaingan dalam memperoleh laba sebanyak-banyaknya
(profit maximum principle). Al Qur'an dan hadist secara tegas
menolak perikehidupan ekonomi seperti itu. Ekonomi yang berlandaskan
pada pemahaman Islam, mengasumsikan manusia keadilan dan kesetaraan
(egalitarian). Artinya, pada dasarnya setiap orang itu sama, dan
diberi tugas yang sama pula, yakni mengabdi kepada Allah SWT dalam
berbagai implementasi kehidupan termasuk ekonomi (QS. 18:29).
Islamisasi pengetahuan dalam ekonomi lebih khusus bidang
akuntansi atau yang biasa disebut dengan Akuntansi Syari'ah atau
akuntansi Islam telah lebih dari tiga puluh tahun dilakukan.
Gagasan dan wacana filosofis teoritis akuntansi syari'ah telah
banyak dihasilkan, namun belum ada bentuk konkret akutansi syariah
dalam bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan syari'ah. Laporan
keuangan syari'ah saat ini masih melakukan `fotokopi akutansi
konvensional' dan melakukn `tipp-ex sana-sini' dan
kemudian `menempel tulisan yang bernuansa syari'ah. Tetapi laporan
keuangan syari'ah yang memang diturun kan dari nilai-nilai Islam
(Islamic Values) dan sesuai dengan tujuan syari'ah (maqasid
syari'ah).
Dalam kesempatan diskusi yang diselenggarakan HMI-Mpo Cabang
Yogyakarta Kamis (9/2) ini Aji Dedi Mulawarman, selak mencoba
mengenalkan Shari'ate Value Added Statement (laporan Nilai Tambah
syari'ah), yaitu laporan kinerja keuangan pengganti Income
Statement (laporan laba-rugi), melalui rekonstruksi Value added
statement (laporan nilai tambah) menjadi Shari'ate Value Added
Statement. Penggantian laporan laba-rugi menjadi laporan nilai
tambah syari'ah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi dunia
pencatatan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan perusahaan-
perusahaan islam.
Laporan nilai tambah Syari'ah adalah bentuk
pertanggungjawaban keuangan perusahaan Islami yang idealnya untuk
memberikan nilai tambah (value added) dan tazkiyah (pensucian).
Pemberian nilai tambah yaitu berupa peningkatan kesejahteraan bagi
pemilik, manajemen dan pemegang saham di satu sisi. Sekaligus nilai
tambah kesejahteraan bagi pemilik, manajemen dan pemegang saham di
satu sisi. Sekaligus nilai tambah kesejahteraan yang harusnya
dilakukan pula pada karyawan, buruh supplier, masyarakat sekitar
perusahaan, pemerintah, dan lingkungan serta yang paling utama
adalah tugas perwujudan nilai tazkiyah (pensuciaan) laporan keuangan
sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan (kumpulan komunitas
yang berbentuk organisasi) kepada Allah Azza wa Jalla.
Lain halnya Drs. Mashudi Muqorrobin, Ak. MEc., kandidat
Doktor Ekonomi Universitas Kebangsaan Malaysia lebih menekankan pada
perubahan metodologi ekonomi. Saat ini perkembangan ilmu ekonomi
modern masih banyak menilik teori Adam Smith "The Wealth Of Nations"
yang notabene ini merupakan jiplakan pemikir Islam yang sedikit
banyak diubah oleh Adam Smith yang hanya berorientasi pada
keuntungan dan mengabaikan keadilan. Metodologi ilmu ekonomi belum
mendapatkan landasan filosofis gerakan selama 50 tahun. Saat ini
ilmu ekonomi masih dalam baying-bayang ilmu ekonomi konvensional.
Begitu kuatnya falsafah ekonomi materialistik ini menguasai pola
berpikir ilmiah modern, sehingga mempersulit proses usaha untuk
saling mengerti dan memahami pola ilmiah yang berasal dari budaya
dan falsafah lain. Pada saat ini Islamisasi ilmu ekonomi
konvensioanal mulai berkembang. Hal ini juga pernah dilakukan oleh
Ulama-ulama Islam terdahulu, seperti Ibnu Sina pernah melakukan
Islamisasi buku Aristoteles "The Politics" dengan memasukkan nilai-
nilai Islam kedalamnya dan buku ini berjudul "Manajemen Keuangan
Rumah Tangga".
Menurut Rizal Yaya, SE., M.Sc. Akt, sebagai pembicara dalam
diskusi mengatakan permasalahan Akuntansi Konvensional pada saat ini
adalah Lingkup dan kebebasan praktik akutansi dimana aturan akutansi
yang dibuat oleh The Big Five (Amerika dkk.) dibuat untuk melakukan
praktik kejahatan bersama (economic consequences). Lainnya Rizal
mengatakan akuntansi konvensional saat ini sebagai alat legitimasi
PHK, privatisasi, transfer 0f wealth to rich dan hanya wilayah
masalah ekonomi saja tanpa memperhatikan dampak lingkungan seperti
polusi dll. Permasalahan yang lain menurut Rizal seperti dikatakan
dalam bukunya Dr. Akhyar Adnan dan Gaffikin, konsep akutansi
konvensional bertentangan dengan pengungkapan semua informasi yang
relevan dimana informasi yang diungkap tidak memadai dalam mendorong
pertanggungjawaban pada Allah dan manusia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

makalah konvergensi PSAK ke IFRS

BAB 1
KONVERGENSI PSAK KE IFRS
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi). Era globalisasi saat ini menuntut adanya suatu sistem akuntansi internasional yang dapat diberlakukan secara internasional di setiap negara, atau diperlukan adanya terhadap standar akuntansi internasional, dengan tujuan agar dapat menghasilkan informasi keuangan yang dapat diperbandingkan, mempermudah dalam melakukan analisis kompetitif dan hubungan baik dengan pelanggan, supplier, investor, dan kreditor. Namun proses harmonisasi ini memiliki hambatan antaralain nasionalisme dan budaya tiap-tiap negara, perbedaan sistem pemerintahan pada tiaptiap
negara, perbedaan kepentingan antara perusahaan multinasional dengan perusahaan nasional yang sangat mempengaruhi proses harmonisasi antar negara, serta tingginya biaya untuk merubah prinsip akuntansi.
Tabel 1:
IFRS/IAS yang Telah Diadopsi ke dalam PSAK hingga 31 Desember 2008

1. IAS 2 Inventories
2. IAS 10 Events after balance sheet date
3. IAS 11 Construction contracts
4. IAS 16 Property, plant and equipment
5. IAS 17 Leases
6. IAS 18 Revenues
7. IAS 19 Employee benefits
8. IAS 23 Borrowing costs
9. IAS 32 Financial instruments: presentation
10. IAS 39 Financial instruments: recognition and measurement
11. IAS 40 Investment property
Tabel 2:
IFRS/IAS yang Akan Diadopsi ke dalam PSAK pada Tahun 2009

1. IFRS 2 Share-based payment
2. IFRS 4 Insurance contracts
3. IFRS 5 Non-current assets held for sale and discontinued operations
4. IFRS 6 Exploration for and evaluation of mineral resources
5. IFRS 7 Financial instruments: disclosures
6. IAS 1 Presentation of financial statements
7. IAS 27 Consolidated and separate financial statements
8. IAS 28 Investments in associates
9. IFRS 3 Business combination
10. IFRS 8 Segment reporting
11. IAS 8 Accounting policies, changes in accounting estimates and errors
12. IAS 12 Income taxes
13. IAS 21 The effects of changes in foreign exchange rates
14. IAS 26 Accounting and reporting by retirement benefit plans
15. IAS 31 Interests in joint ventures
16. IAS 36 Impairment of assets
17. IAS 37 Provisions, contingent liabilities and contingent assets
18. IAS 38 Intangible assets
Tabel 3:
IFRS/IAS yang Akan Diadopsi ke dalam PSAK pada Tahun 2010

1. IAS 7 Cash flow statements
2. IAS 20 Accounting for government grants and disclosure of government assistance
3. IAS 24 Related party disclosures
4. IAS 29 Financial reporting in hyperinflationary economies
5. IAS 33 Earning per share
6. IAS 34 Interim financial reporting
7. IAS 41 Agriculture
Untuk hal-hal yang tidak diatur standar akuntansi internasional, DSAK akan terus mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan nyata di Indonesia, terutama standar akuntansi keuangan untuk transaksi syariah, dengan semakin berkembangnya usaha berbasis syariah di tanah air. Landasan konseptual untuk akuntansi transaksi syariah telah disusun oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Hal ini diperlukan
karena transaksi syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan transaksi usaha umumnya sehingga ada beberapa prinsip akuntansi umum yang tidak dapat diterapkan dan diperlukan suatu penambahan prinsip akuntansi yang dapat dijadikan landasan konseptual.
BAB 2
2.1 Revisi terbaru PSAK yang mengacu pada IFRS

Sejak Desember 2006 sampai dengan pertengahan tahun 2007 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah merevisi dan mengesahkan lima Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Revisi tersebut dilakukan dalam rangka konvergensi dengan International Accounting Standards (IAS) dan International financial reporting standards (IFRS). 5 butir PSAK yang telah direvisi tersebut antara lain: PSAK No. 13, No. 16, No. 30 (ketiganya revisi tahun 2007, yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2008), PSAK No. 50 dan No. 55 (keduanya revisi tahun 2006 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2009).
1. PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (disahkan 1994),
2. PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang menggantikan PSAK 16 (1994) : Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 (1994) Akuntansi Penyusutan,
3. PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa menggantikan PSAK 30 (1994) tentang Sewa Guna Usaha.
4. PSAK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan yang menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu
5. PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai.
Kelima PSAK tersebut dalam revisi terakhirnya sebagian besar sudah mengacu ke IAS/IFRS, walaupun terdapat sedikit perbedaan terkait dengan belum diadopsinya PSAK lain yang terkait dengan kelima PSAK tersebut. Dengan adanya penyempurnaan dan pengembangan PSAK secara berkelanjutan dari tahun ke tahun, saat ini terdapat tiga PSAK yang pengaturannya sudah disatukan dengan PSAK terkait yang terbaru sehingga nomor PSAK tersebut tidak berlaku lagi,yaitu :
1. PSAK No. 9 (Revisi 1994) tentang Penyajian Aktiva Lancar dan Kewajiban Jangka Pendek pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 1 (Revisi 1998) tentang Penyajian Laporan Keuanga
2. PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan pengaturannyadisatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap;
3. PSAK No. 20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan (1994) pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 19 (Revisi 2000) tentang Aset Tidak Berwujud.
2.2 PSAK yang sedang dalam proses revisi
Ikatan Akuntan Indonesia merencanakan untuk konvergensi dengan IFRS mulai tahun 2012, untuk itu Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) sedang dalam proses merevisi 3 PSAK berikut (Sumber: Deloitte News Letter, 2007):
• PSAK 22 : Accounting for Business Combination, which is revised by reference to IFRS 3 :
Business Combination;
• PSAK 58 : Discontinued Operations, which is revised by reference to IFRS 5 : Non-current
Assets Held for Sale and Discontinued Operations;
• PSAK 48 : Impairment of Assets, which is revised by reference to IAS 36 : Impairment of
Assets
Berikut adalah program pengembangan standar akuntansi nasional oleh DSAK dalam rangka konvergensi dengan IFRS (Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2008):
• Pada akhir 2010 diharapkan seluruh IFRS sudah diadopsi dalam PSAK;
• Tahun 2011 merupakan tahun penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS;
• Tahun 2012 merupakan tahun implementasi dimana PSAK yang berbasis IFRS wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik. Namun IFRS tidak wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan lokal yang tidak memiliki akuntabilitas publik. Pengembangan PSAK untuk UKM dan kebutuhan spesifik nasional didahulukan. yang tidak memiliki akuntabilitas publik. Pengembangan PSAK untuk UKM dan kebutuhan spesifik nasional didahulukan.
2.3 PSAK 48 PENURUNAN NILAI AKTIVA
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan mengeluarkan 15 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) berbasis International Accounting Standards (IAS) atau International Financing Exposure Standard (IFRS) versi 2009 yang akan diberlakukan secara efektif mulai 1 Januari 2011.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tersebut di antaranya PSAK 1 (Penyajian Laporan Keuangan), PSAK 2 (Laporan Arus Kas), PSAK 3 (Laporan Keuangan Interim), PSAK 4 (Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri), PSAK 5 (Segmen Operasi), PSAK 7 (Pengungkapan Pihak-pihak yang Berelasi), PSAK 12 (Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama), PSAK 15 (Investasi pada Entitas Asosiasi), serta PSAK 19 (Aset Tak Berwujud).
Juga PSAK 22 (Kombinasi Bisnis), PSAK 23 (Pendapatan), PSAK 25 (Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi & Kesalahan), PSAK 48 (Penurunan Nilai Aset), PSAK 57 (Provisi, Liabilitas Kontijensi & Aset Kontijensi), dan PSAK 58 (Aset Tidak Lancar yang Dimiliki Untuk Dijual & Operasi yang Dihentikan).
“Pilihan untuk melakukan konvergensi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan ke International Financing Exposure Standard adalah tepat. Kalau kami mau bermain di tataran global, maka harus menggunakan laporan keuangan yang berlaku secara global,” kata Ketua Bapepam-LK Ahmad Fuad Rahmany hari ini, saat berlangsung sosialisasi konvergensi PSAK ke IFRS kepada emiten di lingkungan pasar modal.
Program konvergensi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan ke International Financing Exposure Standard telah dicanangkan Ikatan Akuntansi Indonesia pada Desember 2008. Program ini dilakukan secara bertahap dan ditargetkan akan selesai pada 2012. Hal ini sejalan dengan kesepakatan pemimpin negara-negara yang tergabung dalam G-20, yang salah satunya adalah menciptakan satu set standar akuntansi yang berkualitas dan berlaku secara internasional.
Sumber : http://www.bloggerborneo.com/softcopy-psak/
Gamayunil, Rindu Rika, 2009, Perkembangan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia menuju International Financial Report Standarts (IFRS) , Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol 14. No.2
http://bursa.ariefew.com/standar-akutansi-keuangan-berlaku-1-januari-2011/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Journal Konvergensi PSAK ke IFRS

Struktur Meta Teori Akuntansi Keuangan
(Sebuah Telaah dan Perbandingan antara FASB dan IASC)
I Made Narsa
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membahas struktur meta teori yang dipergunakan oleh FASB dan IASC dalam mengembangkan rerangka konseptual, menelaah perbedaan-perbedaan mendasar, menganalisis hambatan-hambatan yang dialami serta mengidentifikasi upaya-upaya yang harus dilakukan agar IFRS diterapkan oleh negara-negara anggota. Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan rerangka dasar yang diatur dalam FASB dan IASC dan kemudian menganalisa hambatan yang timbul dengan adanya penerapan IFRS dan mengidentifikasi bagaimana hambatan tersebut dapat diselesaikan.
Kata kunci: globalisasi, harmonisasi, meta teori, FASB dan IASC, kerangka dasar, akuntansi keuangan
ABSTRACT
The objectives of this paper is to analyses the structure of meta-theoretical of financial accounting that was used by FASB and IASC to develop the conceptual framework for financial accounting reporting. The discussion of conceptual framework conducted by comparison of the basic different between the FASB and IASC framework, then analyses the constraints to implement IFRS and identify the way out of the constraints faced by the body.
Keywords: globalization, harmonization, meta-theoretical, FASB Dan IASC, Conceptual framework, financial accounting

PENDAHULUAN
Linda Keslar (Zeff dan Dharan1994: 28) mengatakan,”U.S. standards are not only too cumbersome and too costly, but downright unfair compared to those their foreign competitors have to follow. That is U.S. companies face an uneven playing field…” Linda melihat betapa berbedanya aturan akuntansi yang berlaku di banyak Negara sehingga menimbulkan masalah keterbandingan laporan keuangan. Kondisi ini tentu dapat dipahami, karena dalam proses penyusunan standar akuntansi di suatu negara tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lokal suatu negara. Wolk et al. (2001: 4) mengatakan, ”Economic conditions have an impact upon both political factors and accounting theory”. Proses ini yang menyebabkan standard dan praktik akuntansi di tiap-tiap Negara terdapat perbedaan.
Masalah dirasakan mulai muncul, ketika perkembangan teknologi mengubah dunia internasional ini menjadi sebuah global village, negaranegara seolah tanpa batas (borderless). Era ini populer dengan nama globalisasi. Dalam konteks akuntansi maka munculah akuntansi internasional yang mencoba menguraikan teori dan praktik yang berlaku secara internasional. Harmonisasi standar akuntansi keuangan dalam wujud International Financial Reporting Standard (IFRS) berlaku secara internasional, dan dalam proses penyusunannya faktor politik dan kondisi ekonomi menjadi tidak relevan.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa pengaruh Amerika dalam kancah internasional sangat kuat hampir dalam segala aspek kehidupan. Acapkali kita sulit membedakan mana yang internasional dan mana yang Amerika.
Tetapi lingkungan bisnis yang ada di Amerika Serikat tidaklah universal. Ada tujuh faktor yang menyebabkan perbedaan dalam pelaporan keuangan sebagaimana dikatakan oleh Nobes dan Parker (1995:11), “the following seven factors may constitute an explanation for financial reporting differences: legal system, providers of finance, taxation, the accounting profession, inflation, theory, and the accidents of history”.
Dengan demikian apakah standard akuntansi keuangan Amerika Serikat fit untuk lingkungan bisnis global? Inilah sumber dari masalah keterbandingan laporan keuangan. Nobes dan Parker (1995: 3) mengatakan, ”If corporate financial reporting and accounting were identical in all countries of the word, there would be no point in studying comparative international accounting”.
Pada lingkup global, sebenarnya ada dua badan penyusun standar yang berkaitan dengan praktik akuntansi secara internasional. Badanbadan itu adalah The International Federation of Accountant (IFAC), dan The International Accounting Standards Committee (IASC). IASC lebih berkonsentrasi untuk membuat International Accounting Standards (IASs). Sedangkan IFAC lebih memfokuskan pada upaya pengembangan International Standard Audits (ISAs), kode etik, kurikulum pendidikan, standar akuntansi sektor swasta, dan kaidah-kaidah bagi akuntan dalam berbisnis atau mereka yang terlibat dalam teknologi.
Sangat diharapkan ada sebuah standar yang dapat diterima oleh semua Negara di dunia. Dengan adanya standar yang diterima secara internasional, diharapkan laporan keuangan memiliki daya keterbandingan yang lebih tinggi antar negara. Tentu saja upaya-upaya kearah harmonisasi internasional ini bukanlah pekerjaan mudah.
Faktanya dalam dunia akuntansi saat ini standar akuntansi yang berlaku di Amerika Serikat yang disusun oleh Financial Accounting Standards Board (FASB), diikuti oleh beberapa negara, baik secara langsung maupun modifikasi. Sementara International Accounting Standards (IASs) yang dikeluarkan oleh International Accounting Standards Committee (IASC), belum diikuti oleh semua negara, bahkan oleh negara-negara anggota yang tergabung dalam IASC tersebut.
Artikel ini bertujuan untuk membahas struktur meta teori yang dipergunakan oleh FASB dan IASC dalam mengembangkan rerangka konseptual, menelaah perbedaan-perbedaan mendasar, menganalisis hambatan-hambatan yang dialami serta mengidentifikasi upaya-upaya yang harus dilakukan agar IFRS diterapkan oleh negaranegara anggota.
Bagian berikut dari artikel ini akan menjelaskan pergeseran orientasi pemikiran dari Postulat ke objektif, pembuatan kebijakan akuntansi,struktur meta teori akuntansi keuangan, rerangka konseptual FASB, rerangka konseptual IASC, telaah dan perbandingan struktur meta teori FASB dengan IASC, hambatan-hambatan dan upaya penerapan IFRS dan ditutup dengan simpulan.
PERGESERAN ORIENTASI DARI POTSULAT KE OBJEKTIF
Dalam akuntansi kita sering kali membedakan antara teori dan praktik. Kita sering mendengar dua orang akuntan berdebat mengenai sebuah proposal, ”ini hanya teori, tidak dapat dipraktikkan”, atau pada diskusi lainnya ”ini adalah teori depresiasi” atau yang lainnya lagi mengatakan ”teori capital budgeting”, atau ”teori akuntansi” dan lain sebagainya. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan teori akuntansi? Paton dan Littleton (1940: ix) mendefinisikan teori akuntansi, “…is a coherent, coordinated, consistent body of doctrines which may be compactly expressed in the form of standards it desired” Keberadaan teori akuntansi yang mapan sangat penting dan diharapkan mampu menjelaskan fakta atau fenomena akuntansi dengan akurat dan memiliki konsistensi logik. Banyak sekali ahli teori akuntansi mencoba menjelaskan praktikpraktik akuntansi yang sedang berlaku, dan berupaya untuk menemukan dasar teorinya.
Pada umumnya mereka berfokus pada postulat, konsep dasar, maupun asumsi yang mendasari praktik.Ternyata pendapat mengenai postulat itu sendiri sangat beragam, tidak ada kesepakatan, sehingga usaha-usaha untuk merumuskan teori akuntansi sangat lambat bahkan cenderung membingungkan. Perdebatan terus berlanjut, setiap orang selalu melihat hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga yang ada adalah kumulan pendapat.
Tetapi bukan berarti tidak ada satu teoripun yang berhasil dirumuskan. Justeru sebaliknya, bahwa banyak teori yang sudah berhasil dirumuskan namun hanya menjelaskan akuntansi dari bagian tertentu saja dan dari sudut pandang yang berbeda. Chamber (1965) secara optimis mengatakan, bahwa, ”The history of accounting thought is not a history of development, but a series of disconnected episodes”.
Akhirnya setelah menyadari bahwa tidak ada kemajuan berarti yang dicapai, terjadilah pergeseran orientasi dari postulat ke tujuan (objectives) pelaporan akuntansi. Pergeseran orientasi ini diawali dengan dikeluarkannya ASOBAT oleh AAA pada tahun 1964. Perkembangan ini diikuti oleh APB dengan mengeluarkan Statement no 4 (1970), kemudian diteruskan oleh laporan komite Trueblood (AICPA, 1973). Setelah APB digantikan oleh FASB, pada tahun 1978, FASB mengerluarkan SFAC No 1 dengan judul, Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises.
Struktur teori akuntansi keuangan yang menempatkan tujuan pada posisi paling atas tersebut disebut dengan Meta Teori Akuntansi Keuangan (Wolk et al. 2001: 173). Atas dasar meta teori ini, masalah yang timbul dalam mencari postulat yang dapat disetujui bersama sudah teratasi. Dengan arah tujuan pelaporan akuntansi, penelitian dapat dilakukan dengan lebih menekankan pada pengembangan teori akuntansi yang berguna untuk menerangkan dan meramalkan praktik akuntansi (Baridwan 1991: 3).
Kam (1986:34) menggambarkan bahwa postulat, objektif dan definisi merupakan sumber tertinggi untuk bisa melakukan deduksi dalam mengembangkan rerangka konseptual akuntansi. Dalam sistem deduksi, pada tingkatan pertama (Top level) terdiri dari pernyataan yang sangat umum, yaitu postulat atau asumsi dasar akuntansi, definisi, dan termasuk tujuan pelaporan keuangan. Pada tingkatan kedua mencakup prinsip-prinsip atau standar akuntansi yang skopenya tidak seluas atau seumum postulat. Pada tingkatan ketiga mencakup prosedur-prosedur akuntansi atau metode-metode akuntansi yang dapat diterapkan langsung dalam praktik (Kam 1986: 34-35).

Jika diperhatikan, penjelasan teori secara deduksi menurut Kam tersebut khususnya pada tingkatan pertama (berisi postulates, definitions, dan Objectives of Financial Reporting), sebenarnya sudah mencakup pergeseran orientasi dari pendekatan yang berorientasi postulat-prinsip ke pendekatan yang berorientasi tujuan-standar. Kam memkombinasikan kedua orientasi tersebut dengan sangat elegan, seolah-olah mengisyaratkan perlunya mengakhiri perdebatan mengenai postulat (dan istilah lainnya yang berbeda-beda) dan menyepakati apa sebenarnya orientasi yang ingin dijadikan acuan.
Ketika meta teori ini dipergunakan sebagai landasan menyusun kebijakan akuntansi di suatu negara, tampaknya kondisi lingkungan dimana akuntansi itu akan dioperasikan juga sangat mempengaruhi. Dalam APBS 4 (1970: par. 17) dikatakan, ”...depents ont only on delinetion of accounting, but olso on an understanding of the environent within which financial accounting operates and which it is intended to reflect” Hal ini menyebabkan kebijakan akuntansi yang diterapkan antar negara ada kecenderungan berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian, bagaimana sebaiknya kebijakan akuntansi itu dibuat?
PEMBUATAN KEBIJAKAN AKUNTANSI
Praktik akuntansi dalam suatu negara sebenarnya didasarkan pada sebuah aturan yang dengan sengaja dikembangkan untuk mencapaitujuan sosial tertentu. Dalam proses perancangan dan pengembangan aturan akuntansi tersebut banyak mempertimbangkan faktor seperti kondisi ekonomi, sistem politik dan teori akuntansi itu sendiri. Wolk et al. (2001)
Teori Akuntansi
Teori akuntansi sebagaimana tampak pada gambar 1 menempati posisi sangat penting dalam
proses pembuatan kebijakan. Pemahaman akan pentingnya teori, baik oleh praktisi maupun para penyusun standar sangat penting, supaya rancangan standar akuntansi dapat menjadi pedoman yang stabil, dan sekaligus adaptif, karena praktik akuntansi bersifat dinamik dan selalu menghadapi masalah-masalah praktis dan professional.
Masalah praktis memang dapat diatasi atau dipecahkan dengan berdasarkan pengalaman praktis, tetapi pengalaman praktis saja tidaklah cukup, melainkan harus dilandasi oleh pemahaman yang kuat terhadap teori akuntansi. Kam (1986: 38 ) mengatakan,
Behind every practice is a rationale…Good practice is based on good theory whether we are aware of the theory or not.
If we can formulate “good” theory, then we will have “good” practices if the theory is followed. Praktik akuntansi yang baik dan maju tidak akan pernah tercapai jika teori yang melandasinya tidak baik. Teori yang baik tidak akan pernah menjiwai praktik jika teori yang baik tersebut tidak dipahami.
Kondisi Ekonomi
Sistem perekonomian biasanya diklasifikasikan menjadi sistem kapitalis, sistem sosialis, atau
kombinasi keduanya. Dalam setiap sistem perekonomian masalah central yang dihadapi adalah alokasi sumberdaya yang tersedia untuk produksi barang dan jasa. Proses alokasi ini berpengaruh terhadap kondisi perekonomian. Karena kondisi ekonomi berdasarkan sifatnya
adalah dinamis, maka kondisi perekonomain suatu negara menjadi faktor yang relevan dalam perumusan kebijakan akuntansi. Kompleksitas ekonomi akan berkaitan langsung dengan kompleksitas akuntansi. Negara dengan subsistem perekonomian agraria misalnya kebutuhan akuntansinya akan sangat berbeda dengan negara yang subsistem perekonomian perindustrian. Kebijakan akuntansi harus konsisten dengan tujuan ekonomi makro dan perencanaan berbagai program ekonomi suatu negara.
Demikian pula sebaliknya, kebijakan akuntansi yang ditetapkan akan dapat memberikan implikasi ekonomi yang sangat luas, berpengaruh terhadap perilaku para pengambil keputusan ekonomik, perpajakan, sistem bonus, harga pasar saham, dan lain sebagainya. Banyak penulis dan peneliti yang membahas tentang konsekuensi ekonomi yang timbul (lihat dalam Wolk et al. 2001, Zeff 1994, Sunder 1988, FASB, dalam statement 2, 1980, dan Statement 5, 1984, Brown 1987).
Konsekuensi ekonomi ini, sebagaimana diunkapkan oleh Zeff (1994) adalah dampak laporan akuntansi terhadap perilaku para pengambil keputusan bisnis, pemerintah, investor dan kreditor, dan masyarakat bisnis lainya.
Faktor Politik
Apakah pembuatan kebijakan akuntansi harus dipengaruhi proses politik? Jawaban atas pertanyaan ini tidak jelas batasannya.
Kebijakan akuntansi sebenarnya diputuskan melalui suatu konsensus, sehingga proses pembuatannya dianggap bersifat politik. Gerboth (1973) menyatakan, suatu politisasi pembuatan peraturan akuntansi tidak dapat dielakkan, dan hal ini merupakan suatu keharusan. Selanjutnya, Gerboth menyatakan, jika suatu keputusan kebijakan akuntansi keberhasilannya tergantung pada keberterimaan oleh masyarakat, maka masalah-masalah penting yang timbul tidak bersifat teknis melainkan poltis.
Horngren (1973) berpendapat senada, bahwa sandar akuntansi merupakan hasil tindakan politik dan sosial yang akan mempengaruhi masyarakat. Tetapi Solomons (1978) menyatakan perlu suatu kehati-hatian dan diperhatikan pula bahwa faktor politik tidak harus selalu dikedepankan dalam penetapan standard. Jika faktor politik dikedepankan, kredibilitas akuntansi benar-benar dipertaruhkan. Jika badan-badan penyusun standar sering melakukan kesalahan, maka kepercayaan masyarakat dan kalangan bisnis akan hilang. Sandaran utama penetapan kebijakan akuntansi adalah teori yang sehat. Wright (Suwardjono, 2005: 38) mengatakan, ”Theory, without practice to test it, to verify it, to correct it, is idle speculations; but practice, without theory to animate it, is mere mechanism. In everi art and business, theory is the soul and practice is the body” Dengan demikian diperlukan adanya struktur meta teori yang valid.
STRUKTUR META TEORI
Meta teori akuntansi keuangan menggunakan pendekatan deduksi dalam proses penalarannya. Sebagaimana tampak pada gambar 2, struktur meta teori akuntansi keuangan menempatkan tujuan sebagai tingkatan paling tinggi. Tetapi jika suatu kebijakan ditetapkan untuk suatu negara tertentu, mungkin tujuan pelaporan keuangan harus mendukung tujuan ekonomik suatu negara.
Postulat, definisi dan Tujuan Pelaporan Keuangan
Pemilihan Berbagai aspek Relevan
Rerangka Konseptual
Media Pelaporan
Informasi Akuntansi
Sumber: Suwardjono (2005) yang dimodifikasi dengan Kam (1986)
Gambar 2. Struktur Meta Teori Akuntansi Keuangan

Suwardjono (2005) menggunakan istilah perekayasaan pelaporan keuangan untuk menggambarkan struktur meta teori akuntansi keuangan. Perekayasaan akuntansi berkepentingan dengan pertimbangan untuk memilih dan mengaplikasikan ideologi, teori, konsep dasar, dan teknologi yang tersedia secara teoritis dan praktis untuk mencapai tujuan ekonomik dan sosial negara dengan mempertimbangkan faktor sosial, ekonomik, politik, dan budaya negara (hal 102). Jika digambarkan secara generik tanpa dikaitkan dengan satu negara tertentu, maka struktur meta teori akuntansi keuangan tampak pada gambar 3. Pada tingkatan pertama adalah postulates, definisi dan tujuan pelaporan keuangan. Postulates yang biasa dipakai adalah Going concern, time period, accouning entity, dan monetary unit (Wolk, et al. 2001: 139). Dan tujuan umum pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi keuangan untuk dasar pengambilan keputusan ekonomik dan sosial.
Pada tingkatan kedua para perancang kebijakan akuntansi harus memilih berbagai konsep dasar yang relevan, menentukan subjek pelaporan, target pemakai, jenis informasi yang dilaporkan, simbol atau elemen-elemen yang dipakai, dasar pengukuran, kriteria pengakuan, dan medium pelaporan, dan cara melaporkan (Suwardjono, 2005: 102). Pada tingkatan ketiga dibuat suatu rerangka konseptual yang dijabarkan dalam bentuk standar akuntansi dan acuan lainnya sehingga membentuk generally accepted accounting principles. Tingkatan terakhir adalah media pelaporan yang menentukan bentuk, isi dan jenis laporan.
Karena berbagai faktor lokal yang terjadi dalam suatu negara, maka ketika kebijakan akuntansi disusun, maka sebagaimana telah diuraikan dimuka model generik pada gambar 2, akan menjadi spesifik untuk negara bersangkutan. Kebijakan akuntansi antar negara akan dapat berbeda satu sama lainnya, dan harus diikuti dalam praktik akuntansi.
RERANGKA KONSEPTUAL FASB
Dewan penyusun standar akuntansi di Amerika Serikat untuk pertama kalinya dibentuk pada tahun 1936 dengan nama Committee on Accounting Procedure (CAP). Dewan ini bekerja sampai tahun 1959 dan berganti nama menjadi Accounting Princilpes Booard (APB). Hasil karya APB yang terkenal adalah ARS nomor 7 dan yang paling terkenal adalah APB Statemen no 4 yang diterbitkan tahun 1970. APB bekerja sampai dengan tahun 1973, kemudian digantikan oleh Financial Accounting Standards Board (FASB) sampai sekarang ini.
FAB berbeda dengan dewan-dewan sebelumnya, karena didukung oleh enam organisasi profesi, yaitu, AAA, AICPA, Financial Analysts Federation, Financial Executive Institute, Institute of Management Accountants, dan Securities Industry Association.
Setelah mengalami beberapa titik waktu (Juncture) dalam merumuskan prinsip-prinsip akuntansi (Zeff 1984), FASB akhirnya berhasil membuat sebuah model rerangka konseptual yang mapan disebut, Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC). SFAC ini dianggap lengkap dan terdiri dari 6 statements, yaitu SFAC No 1 (1978), SFAC No 2 (1980), SFAC No 3 (1980), SFAC No 4 (1980), SFAC No 5 (1984), dan SFAC No 6 tahun 1985. SFAC No 6 menggantikan SFAC no 3 dan mengamandemen SFAC no 2. Sedangkan draft SFAC 7 sampai saat ini belum pernah definitif.
Model rerangka konseptual FASB ini mencakup empat kompnen dasar, yaitu (1) tujuan pelaporan keuangan yang dituangkan pada SFAC no 1 dan SFAC no 4. (2) Kriteria kualitas informasi yang dituangkan pada SFAC no 2, (3) Elemenelemen laporan keuangan yang dituangkan pada SFCA no 6 (pengganti SFAC no 3) (4) Pengukuran dan Pengakuan yang dituangkan pada SFAC no. 5. Model ini (lihat gambar 3) dirancang dengan cukup luas dan mencakup perusahaan bisnis dan nonbisnis. Rerangka ini merupakan dasar teoritis bagi FASB dalam mengembangkan standard akuntansi keuangan (Statement of Financial Accounting Standard) di Amerirka Serikat.
SFAC No. 1 dan SFAC No 4:
Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises
SFAC No. 2:
Qualitative Characteristics of Accounting Information
SFAC No. 5:
Recognition and Measureent in Financial Statements of Business Enterprises
Sumber: FASB, SFAC No 1-6 dan Suwardjono (2005)
Gambar 3. Struktur Meta Teori Akuntansi Keuangan FASB
Standar-standar tersebut berkenaan dengan pengukuran aktivitas ekonomi, penentuan waktu kapan pengukuran dan pencatatan harus dilakukan, ketentuan pengungkapan mengenai aktivitas tersebut, penyiapan dan penyajian ringkasan aktivitas ekonomi tersebut dalam bentuk laporan keuangan.

REANGKA KONSEPTUAL IASC
Globalisasi dunia menuntut adanya standar akuntansi yang seragam. Namun untuk mencapai sebuah keseragaman tidaklah mudah. Kondisi ini memerlukan adanya sebuah badan penyusun standar internasional. Salah satunya adalah International Accounting Standards Committee (IASC).
Kesepakatan pembentukan IASC terjadi pada tanggal 23 Juni 1973 di Inggris yang diwakili oleh organisasi profesi akuntansi dari sembilan negara, yaitu Australia, Canada, Prancis, Jerman Barat, Jepang, Mexico, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat (Nobes dan Parker 1995: 9; dan Solomons, 1986: 60).
Tujuan pembentukan IASC adalah, “to formulate and publish in the public interests, basic standards to be observed in the presentation of audited accounts and financial statements and to promote their worldwide acceptance and observance” Jadi tujuan dibentuknya IASC adalah memformulasi standar dan mendorong keberterimaan dan ditaatinya IFRS secara luas di dunia. (Solomons 1986: 60).
Sampai saat ini IASC beranggotakan sekitar 150 organisasi atau badan penyusun standard akuntansi dari 113 negara (media akuntansi, 2000), dan telah berhasil merumuskan model teoritis yang juga mengadopsi meta teori dengan menempatkan tujuan sebagai top level. Model ini disebut Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (FPPFS) (naskah asli terdapat di IAI, SAK, Oktober 2004). Secara diagramatis, dengan mengacu gambar 2 struktur meta teori akuntansi keuangan, Model FPPFS ini tampak pada gambar 4.
Kerangka dasar ini pada hakikatnya memuat lima unsur utama, yaitu (1) tujuan laporan keuangan yang dituangkan dalam paragraf 12-21, (2) asumsi dasar dituangkan pada paragraf 22-23, dan konsep modal dan pemeliharaan modal yang dituangkan pada paragraf 102-110, (3) karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasi dalam laporan keuangan yang dituangkan pada paragraf 24-46, (4) elemen-elemen laporan keuangan yang dituangkan pada paragraf 47-81, (5) definisi, pengakuan dituangkan pada paragraf 82- 98, dan pengukuran unsur-unsur yang membentuk laporan keuangan dituangkan pada paragraf 99- 101.

Kerangka dasar ini dimaksudkan sebagai acuan bagi komite penyusun standar akuntansi keuangan dalam pengembangan standar akuntansi keuangan dimasa depan dan dalam peninjaun kembali terhadap standar akuntansi keuangan yang berlaku.
TELAAH DAN PERBANDINGAN
Kedua struktur meta teori versi FASB dan versi IASC, memiliki unsur-unsur yang mirip. Tetapi ada beberapa perbedaan prinsip dalam kedua model tersebut. Pertama, pernyataan tujuan di FASB adalah tujuan pelaporan keuangan, tetapi di IASC tujuan laporan keuangan. Meskipun IASC pada paragraf 07 menyatakan bahwa, ”Financial statements form part of the process of financial reporting”, tetapi sebenarnya ada hal mendasar yang menyebabkan kedua pernyataan tujuan tersebut berbeda, yaitu lingkup penerapannya. Lingkup penerapan FASB adalah di Amerika Serikat yang tentu saja mempertimbangkan karakteristik lingkungan, sebagaimana dinyatakan dalam SFAC No 1 paragraf 9 sebagai berikut:
Thus, the objectives set.....depend significantly on the nature of the economic activities and decisions with which the users are involved. Accordingly, the objectives in this Statements are affected by the economics, legal, political, and social environment in the United States. Sedangkan lingkup penerapan IASC adalah internasional, sehingga karaktristik lingkungan local/Negara menjadi tidak relevan. Ketiadaan konteks karakteristik lingkungan inilah yang barangkali menyebabkan IASC menggunakan pernyataan tujuan laporan keuangan, karena pelaporan keuangan mengandung konteks lingkungan. Kedua, fokus utama tujuan pelaporan keuangan. Dalam FASB dengan jelas dungkapkan pada paragraf 34, bahwa ”Financial reporting should provide information that is useful to present and potential investors and creditors and other users in making rational investment, credit, and
similar decisions”. Mengapa fokus utama adalah investr dan kreditor? Hal ini disebabkan investor dan kreditor adalah pengguna mayoritas dan pelaku utama di pasar modal Amerika yang sangat berkembang pesat. Sementara di IASC target pemakai dinyatakan secara umum tidak fokus pada kelompok tertentu. Misalnya pada paragraf 13, dinyatakan, ”Financial statements prepared for these purpose meet the common needs of most users”. Hal ini disebabkan karena harus mempertimbangkan karakteristik pelaku utama di berbagai negara,
dengan tingkatan pertumbuhan ekonomi yang berbeda, tingkatan kecanggihan pasar keuangan yang juga berbeda, sehingga dinyatakan secara umum.
The Objectives of Financial Statements (para. 12-21)
Underlying Assumptions (para. 22-23)
Qualitative Characteristics of Financial Statements (para. 24-46)
Concepts of Capital and Capital Maintenance (para. 102-110)
Elements of Financial Statements (para 47-81)
Recognition of The Element of Financial Statements (para. 82-98)
Measurement of The Element of Financial Statements (para. 99-101)
Financial Statements: Financial Positions; Performance; and Change in Financial Position
Notes and Supplementary Schedule
Gambar 4. Struktur Meta Teori IASC
Alasan teoritis yang melatar belakangi mengapa FASB memfokuskan investor dan kreditor sebagai tujuan pelaporan keuangan dapat dijelaskan sebagai berikut. Peran sosial akuntansi dapat dilihat dari sejauh mana akuntansi dapat mengen dalikan perilaku para pengambil keputusan ekonomik untuk bertindak menuju ke suatu pencapaian tujuan ekonomi dan sosial suatu negara. Salah satu tujuan ekonomik negara adalah adanya alokasi sumberdaya ekonomik yang efisien. Proses alokasi sumberdaya ini dapat terjadi melalui
mekanisme di pasar modal, karena pasar modal merupakan tempat bertemunya peminta dan
penyedia dana (investor dan kreditor). Informasi akuntansi diharapkan berperanan dalam membantu mereka dalam proses pengambilan keputusan ekonomik.
Ketiga, Asumsi yang mendasari penyusunan laporan keuangan (underlying assumption) paragraf 22-23, dan konsep modal dan konsep mempertahankan modal paragraf 102-110, secara ekspisit dinyatakan dalam IASC. Tetapi FASB tidak menyajikan kedua komponen tersebut sebagai komponen konsep yang terpisah, karena kedua hal tersebut merupakan konsep dasar yang digunakan oleh FASB dalam penjelasan, argumen dan penalaran yang menyertai setiap komponen konsep.
Misalnya pada SFAC no. 5 paragraf 45 dinyatakan, ”The full set of articulated financial statements discussed in this Statement is based on the concept financial capital maintenance” Konsep ini juga digunakan untuk penjelasan pada paragraf 46-48. Demikian pula pada SFAC No 6 paragraf 71, “A concept of maintenance of capital or recovery of cost is a prerequisite for separating return of capital…..”

Demikian pula paragraf 72, “The financial capital concept is the traditional view and is generally the capital maintenance concept in present primary financial statements.”
Konsep accrual basis, juga demikian. FASB menggunakannya sebagai penjelasan dan argumen pada SFAC No. 6 pada sub topik Accrual Accounting and Related Concepts mulai paragraf 134 sampai paragraf 145.
Dengan memperhatikan beberapa perbedaan yang ada, tampaknya struktur meta teori yang digunakan oleh FASB lebih sempurna dibandingkan dengan struktur meta teori IASC. FASB dalam membangun model menggunakan argumen dan penalaran yang lebih kuat serta penjelasan yang lebih lengkap untuk setiap konsep yang dipakai, sehingga membentuk sebuah knowledge. Dengan demikian FASB lebih memiliki aspek pendidikan. Hal ini secara explisit dinyatakan pada bagian pengantar SFAC No. 2, yaitu: However, knowledge of the objectives and concepts the Board will use in developing standards should also enable those who are affected by or interested in financial accounting standards to understand better the purposes, content, and characteristic of information provided by financial accounting and reporting.
HAMBATAN-HAMBATAN DAN UPAYA DALAM PENERAPAN IFRS
Pembuatan standar akuntansi di IASC tidaklah melibatkan seluruh anggota yang jumlahnya sangat banyak, melainkan oleh beberapa negara yang disebut dengan nama G4+1 yang terdiri dari perwakilan badan-badan standar nasional dari Negara Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat. Alasan dibentuknya G4+1 ini adalah anggota IASC terlalu banyak, terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap, serta sangat beragam. Keberagaman wakil yang duduk dalam IASC ini juga mencerminkan keberagaman tingkatan
ekonomi negara-negara yang diwakilinya, hal ini terkadang memerlukan kompromikompromi guna menyetujui sebuah standar.
Meskipun sebagian besar anggota IASC telah menyetujui IFRS, tetapi tidak semua anggota IASC menerapkan dinegaranya masing-masing. Berbeda dengan anggota yang tergabung dalam G4+1. Mereka berkumpul secara intensif dan bekerja penuh waktu. Dalam setiap proyek pengembangan yang dikerjakan, mereka mengembangkannya kedalam lingkup Negara mereka masing-masing. Oleh karena anggota G4+1 ini adalah negaranegara maju yang memiliki pasar keuangan yang canggih, maka kompromi-kompromi sangat sedikit terjadi.
Negara-negara maju akan mendominasi pengembangan pasar keuangan. Kebutuhan informasi para investor tampaknya lebih terkait dengan Amerika Serikat, Eropa Daratan, Inggris, dan Australia. Jika standar akuntansi internasional dimaksudkan berlaku untuk semua anggota IASC, yang memiliki banyak perbedaan, maka hal ini merupakan hambatan yang barangkali sulit dipecahkan.
Radebaugh (1975:41) mengemukakan bahwa banyak sekali faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pengembangan tujuan, standar, dan praktik akuntansi. Rerangka ini mencakup delapan faktor, yang secara umum kedelapan faktor tersebut ada di setiap negara, tentu dengan tingkatan dan karakteristik yang sangat berbeda. Karakteristik dan tingkatan yang berbeda antar negara merupakan hambatan mendasar yang dihadapi dalam proses harmonisasi standar akuntansi keuangan. Lebih lanjut, Solomons (1986: 63) mengatakan:
Just as accounting standards within a single country attempt to eliminate arbitrary and unnecessary differences in the accounting methods used by different companies, so in the international field, efforts are being made to eliminate or reduce accounting differences across national boundaries. Because some of those differences reflect differences in legal
systems, in political systems and in stage of economic development, the progress of harmo nization is slow and difficult. Hambatan lain yang muncul adalah adanya perbedaan kebutuhan dan keinginan antara Negara maju dengan yang belum maju dan antara Negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi dan Negara dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi lebih rendah bahkan sangat rendah. Apa yang tepat diterapkan di Amerika Serikat, belum tentu cocok diterapkan di Negara lain dengan karakteristik lingkungan dan perkembangan ekonomi yang berbeda. Demikian pula apa yang dirancang oleh G4+1 belum tentu cocok diterapkan untuk seluruh anggota IASC. Solomons (1986: 63) mengatakan,Their needs are different in important respect, and one should not assume that accountingpolicies that appropriate for the United States are necessarily appropriate for, say, India orIndonesia. This is because the objectives to be served by financial reporting may be different.
Tidak ada enforcement yang bisa diterapkan bagi Negara yang tidak menerapkan IFRS. Yang harus dilakukan oleh IASC sebagai badan penyusun standar akuntansi interasional adalah membuat para anggota merasa butuh menerapkan IFRS. Upaya yang bisa ditempuh adalah pertama, mengajukan pengakuan melalui International Organization of Securities Commissions, supaya perusahaan (Negara) yang akan melakukan crossborder listing menggunakan IFRS dalam pelaporan keuangan mereka. Tindakan ini selanjutnya diikuti dengan pengakuan oleh komisi-komisi efek atau peraturan yang ada. Jika hal ini terjadi, maka akan mendorong perusahaan-perusahaan multinasional untuk listing di bursa efek mancanegara. Kedua, IASC harus membentuk badan penyusun standar yang terpisah dari badan-badan akuntansi. Untuk itu, IASC harus melakukan restrukturisasi. Saat ini IASC didominasi oleh badan-badan profesi akuntansi sebanag penyusun standar. Restrukturisasi ini diharapkan dapat mendorong kemandirian baik dari segi dana maupun operasional.
KESIMPULAN
FASB dan IASC dalam menyusun standar sama-sama berbasis pada meta teori akuntansi keuangan, yang menempatkan tujuan pelaporan pada tingkat paling tinggi. Rerangka konseptual FASB merupakan dasar teoritis pengembangan standar akuntansi di Amerika Serikat, sehingga memasukkan konteks lingkungan. Tetapi rerangka konseptual IASC yang menjadi landasan teoritis pengembangan standar akuntansi keuangan internasional, konteks lingkungan menjadi tidak relevan. Terdapat beberapa perbedaan antara kedua rerangka konseptual tersebut, yaitu pertama pernyataan tujuan, dimana FASB menyatakan tujuan pelaporan keuangan, sementara IASC menyatakan tujuan laporan keuangan. Kedua, fokus utama pelaporan menurut FASB adalah investor dan kreditor, sementara IASC tidak fokus pada salah satu kelompok tertentu. Ketiga, Asumsi dasar dan konsep modal dan konsep pemeliharaan modal, secara eksplisit dinyatakan terpisah oleh
IASC, sementara FASB menggunakan konsepkonsep tersebut pada setiap konsep yang diajukan sebagai penjelasan, argumen, dan penalaran. Penerapan IFRS ternyata mengalami hambatan yang sangat serius, karena banyak sekali terdapat perbedaan antar negara-negara anggota, baik dalam konteks sosial budaya, hukum, ekonomi, politik, pendidikan, sistem pemerintahan, sistem pajak, dan lain sebagainya. IASC harus mengupayakan pengakuan dari
International Organization of Securities Commissions, supaya perusahaan-perusahaan yang melakukan cross-border listing menggunakan IFRS.Hal ini dapat mendorong perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan listing di mancanegara. Hal lain yang dapat dilakukan IASC adalah melakukan restrukturisasi badan penyusun standar untuk mendorong kemandirian baik dari segi dana maupun operasinal
DAFTAR PUSTAKA
Accounting Principles Board (APB) 1970. Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements of Business Enterprises, APB Statement No 4. New York:AICPA.
Baridwan, Zaki. Maret 1991. “Teori Akuntansi: Perkembangan dan Implikasinya terhadap
Praktik Akuntansi”, Jurnal Akuntansi dan Manajemen STIE-YKPN.
Brown, Victor H. 1987. “Accounting Standards: Their Economic and Social Consequences”.
Dalam Robert Bloom dan Pieter T. Elgers. Issues in Accounting Policy: A Reader. New York: The Dryden Press,
Chamber, Raymond J. July 1965 “Measurement in Current Accounting Practices”, The Accounting Review
Financial Accounting Standards Board (FASB). 1978, 1980, 1984, 1985 Statement of Financial Accounting Concept, No 1 – 6.
Gerboth, Dale L., July 1973. “Research, Institution, and Politics in Accounting Inquiry”, The
Accounting Review, pp. 481.
Horngren, Charles T. 1973 “The Marketing of Accounting Standards”, Journal of Accountancy, October, pp. 61-66.
Ikatan Akuntan Indonesia. Oktober 2004 Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba
Empat.
Kam, Vernon. 1986. Accounting Theory, New York: John Wiley & Sons.
Keslar, Linda. 1994, “U.S. Accounting: Creating an Uneven Playing Field”?. Dalam Stephen A. Zeff dan Bala G. Dharan, Readings and Notes on Financial Accounting: Issues and Controversies, 4th. New York: McGraw-Hill, Inc.
Nobes, Christopher dan Parker, Robert. 1995, Comparative International Accounting, 4th.
Hemel Hempstead: Prentice-Hall International (UK).
Paton, William A. dan A.C. Littleton. 1940. “An Introduction to Corporate Accounting Standards”. American Accounting Association.
Radebaugh, Lee H. Fall 1975 “Environmental Factors influencing the Development of Accounting Objectives, Standards, and Practices in Peru”, The International Journal of Accouting Education and Research.
Solomons, David. 1986 “Making Accounting Policy: The Quest for Credibility in Financial Reporting”. New York: Oxford University Press.
--------- November 1978 “The Politization of Accounting”, Journal of Accountancy, , pp. 65-75.
Sunder, Shyam. 1988, “Political Economy of Accounting Standards”. Journal of Accounting
Literature, Vol. 7. pp. 31-41.
Suwardjono. 2005 Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ketiga, Yogjakarta: BPFE.
Wolk, Harry I., Michael G. Tearney, dan James L. Dodd. 2001 Accounting Theory: A Conceptual and Institutional Approach, Cincinnati, Ohio: South-Westrn College Publishing.
Zeff, Stephen A. 1994, The Rise of “Economic Consequences”. Dalam Stephen A. Zeff dan
Bala G. Dharan, Readings and Notes on Financial Accounting: Issues and Controversies,
4th. New York: McGraw-Hill, Inc.
--------- 1987 “Some Junctures in the Evolution of the Process of Establishing Accounting Principles in the U.S.A: 1917-1972”, Dalam Robert Bloom dan Pieter T. Elgers. Issues in
Accounting Policy: A Reader. New York: The Dryden Press.

Sumber : http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting
Narsa, I made, 2007, Struktur Meta Teori Akuntansi Keuangan (Sebuah Telaah dan Perbandingan antara FASB dan IASC), Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 9, No. 2, Nopember (43-51)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pajak Warteg akan Sengsarakan Rakyat dan Pengusaha

Rencana Pemprov DKI Jakarta menenakan pajak terhadap warteg menuai kontroversi. Sebab, kebijakan ini dinilai akan menyengsarakan rakyat dan pengusaha. Pengamat kebijakan public, Andrinof Chaniago menilai penerapan itu sebaiknya diberlakukan kepada semua jasa boga yang beromzet di atas Rp60 juta.

“Idealnya, pengenaan pajak restoran ini untuk jasa boga yang beromzet sekurang-kurangnya Rp150 juta per tahun,” katanya. Jika suatu kebijakan menyengkut kalangan ekonomi menengah, Pemprov harus merumuskan secara lebih hati-hati dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan kesejahteraan.

Menurutnya, kenaikan itu akan sangat diarasakan pembeli usaha jasa boga berskala kecil dibandingkan pembeli usaha jasa boga berskala menengah. Maka, lanjutnya, tetapi lebih tepat mengenakan retribusi yang selama ini sudah berjalan dan terasa langsung di masyarakat. Contohnya retribusi kebersihan dan keamanan.

Penerapan target penerapan pajak restoran yang mencapai Rp50 miliar pun dinilainya terlalu besar. Yang lebih penting adalah dampak dari penerimaan pajak tersebut. “DKI harus bisa menunjukkan dampak signifikan terhadap pembangunan yang nantinya menggunakan dana pajak restoran,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, jasa tata boga termasuk warteg di DKI Jakarta akan dikenai pajak. Rencananya, hal itu akan berlaku mulai 1 Januari 2011. DPRD DKI telah menyetujui rencana penerapan pajak restoran terhadap segala jenis tata boga di Jakarta sebesar 10 persen karena sesuai dengan amanat Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Di dalamnya disebutkan warung, kafetaria, dan semua yang menyediakan jasa makanan dan minuman, wajib kena pajak. Dasar pengenaan pajak pada warteg adalah pajak restoran dan peraturan ini sebenarnya sudah berlaku lama. Tetapi akan dikembangkan lagi oleh Pemprov.

Diharapkan usaha-usaha tersebut dapat lebih memberikan kontribusi terhadap pembangunan di Jakarta. Saat ini, peraturan itu sudah berada di meja Kementerian Dalam Negeri untuk disahkan. Setelah itu akan dikembalikan ke tangan Gubernur untuk dibuatkan Pergubnya.

Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Arif Susilo mengatakan pihaknya memprediksikan dari perluasan pajak restoran dan rumah makan ini, potensi pajak yang akan didapatkan dari jenis usaha warteg akan bertambah Rp 50 miliar.

Arif menegaskan, Dinas Pelayanan Pajak DKI akan mengklarifikasi warteg dengan melakukan pendataan warteg yang memiliki penghasilan Rp 60 juta ke atas dan di bawah Rp 60 juta per tahunnya. Setelah didapatkan data tersebut, maka akan dilakukan sosialisasi kepada asosiasi pengusaha rumah makan warteg.

Menurutnya, sebagian besar pemilik usaha rumah makan warteg di Jakarta banyak yang sudah mapan sehingga kebijakan ini tidak terlalu menuai kontroversi. “Kami berharap kebijakan ini bisa dilaksanakan dengan baik karena dananya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk prasarana publik,” imbuhnya.

Dia juga mengimbau agar warteg yang memiliki penghasilan diatas Rp 60 juta per tahun dengan sukarela mendaftarkan dirinya ke Dinas Pelayanan Pajak. Kemudian, pihaknya akan melakukan pemantauan dan monitoring dengan melihat catatan keuangan pengusaha tersebut.

Jika mereka memenuhi syarat, akan diberikan nomor pokok wajib pajak atau NPWP. “Nanti mereka memberikan setoran pajak ke kantor badan pengelola keuangan daerah, melalui unit kas daerah yang ada di kecamatan. Nanti kita akan kembangkan lagi kantor-kantor ini agar ada di seluruh kecamatan,” paparnya.

Kepala Dinas Pelayanan Pajak Pemprov DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan warung yang beromzet tinggi bakal didata. Ia berdalih penerapan pajak ini diberlakukan demi azas keadilan. Sebab, selama ini pajak tersebut hanya diberlakukan bagi restoran. Padahal, ada juga warteg yang omzetnya sangat besar. Ia mencontohkan warteg Warmo yang terletak di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Ia menegaskan tak semua warteg dikenai pajak ini, yaitu bagi mereka yang omzetnya lebih dari Rp60 juta/tahun. “Jadi kalau ada warung bubur kacang ijo dan Indomie rebus yang omzetnya di atas itu kena pajak, juga warung bakso, soto, mie ayam yang dia menyewa tempat omzetnya di atas Rp 60 juta/tahun, mereka juga kena pajak," papar Iwan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Apa Pun Bisa Dijual

Orang Indonesia yang telanjur geregetan melihat tingkah polah Malaysia dalam berjiran barangkali sebaiknya tak usah berkunjung ke Kuala Lumpur. Apalagi, jika Anda termasuk salah seorang yang bernafsu mengutuk Malaysia karena dianggap ”mencuri” produk budaya Indonesia, seperti kesenian reog dan lagu ”Rasa Sayange”.

Sekarang lupakan dulu soal klaim hak kepemilikan atas produk seni dan budaya. Lupakan juga cerita soal Tentara Diraja Laut Malaysia yang sering kali melanggar wilayah perairan Indonesia. Bukan apa-apa kalau hal-hal yang menyakitkan kita sebagai bangsa Indonesia ini dilupakan.
Toh, kita tak mampu jualan produk budaya lokal yang kaya raya itu, seperti Malaysia menayangkannya berkali-kali lewat iklan di jam utama saluran internasional, seperti Discovery Channel atau National Geographic Channel. Kita pun hanya bisa gemas melihat kekuatan militer Indonesia masih segan untuk main tembak meski konon militer asing yang melanggar wilayah kedaulatan republik ini.

Untuk soal jualan apa yang ada di dalam negerinya, agar bisa didatangi orang asing, Malaysia memang jago. Meski demikian, jika kita sadar, jualan mereka sebenarnya tak menarik. Sejak kampanye ”Malaysia Truly Asia” tahun 1999, negeri jiran ini merengkuh devisa sangat besar dari sektor pariwisata.

Tahun 2009 Malaysia bisa meraih devisa dari sektor pariwisata sebesar 15,6 miliar dollar Amerika Serikat. Negara Asia Tenggara yang bisa menandingi Malaysia pada tahun itu hanya Thailand, yang perolehan devisa dari sektor pariwisatanya mencapai 16,1 miliar dollar AS. Singapura yang luasnya sama dengan Jakarta malah berada di peringkat ketiga dengan 8,9 miliar dollar AS.

Apa yang dibanggakan oleh Malaysia dan dijadikan jualan pariwisata mereka sebenarnya bisa diperoleh hanya di satu provinsi di Indonesia. Apabila tak percaya, cobalah blejetin brosur Malaysian Tourism Board dan lihat apa saja event yang mereka tawarkan.
Jika hanya sekadar ecotourism tentang hujan hutan tropis, yang ditawarkan di bagian utara Pulau Kalimantan oleh Malaysia, tentu tak sebanding dengan luas wilayah berbagai taman nasional milik Indonesia yang ada di Pulau Sumatera atau Kalimantan. Kalau hanya festival gourmet internasional di Kuala Lumpur, menjelajahi kekayaan kuliner di kota Bandung atau Medan saja bisa bikin gempor kaki.

Jangan pula terpancing dengan tayangan yang menampilkan pemandangan menakjubkan pantai dan lautan dalam iklan ”Malaysia Truly Asia”. Surga menyelam di Indonesia tersebar dari Sabang di Aceh hingga Raja Ampat di Papua.
Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, jadi pantai seindah apa pun yang ada di Malaysia pasti kalah dengan milik Indonesia. Dan, yang pasti, Malaysia tak punya tempat berselancar yang bagus seperti Indonesia yang punya Nias, Mentawai, Banyuwangi, dan Bali.

Lantas mengapa devisa pariwisata Indonesia hanya 6,3 miliar dollar AS. Kurang dari separuh yang didapat Malaysia pada tahun yang sama. Jawaban sederhananya, yaitu karena Pemerintah Indonesia tak bisa ”menjual” kekayaan negeri ini. Lupakan dulu Bali, yang tak usah dijual pun orang berduyun datang ke sana. Meski pariwisata Bali sempat luluh lantak karena bom, magnet pariwisata Bali tetap kuat.

Inilah bedanya Indonesia dengan Malaysia. Sebelum kampanye ”Truly Asia”, Malaysia sadar betul bahwa tak banyak yang bisa mereka jual agar turis asing datang ke negaranya. Tagline ”Malaysia Truly Asia” begitu mengena. Malaysia merasa bangga, tiga kelompok ras besar Asia, yakni Melayu, China, dan India, di negara itu. Padahal, Indonesia memiliki lebih banyak lagi kelompok ras yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.

Jualan ”Truly Asia” ini tentu saja slogan. Jangan bayangkan ketiga ras besar yang dimaksud dalam kampanye ini memiliki hak yang sama di Malaysia. Ada cerita menarik ketika rombongan jurnalis dari Indonesia yang meliput balapan MotoGP di Sirkuit Sepang, Malaysia, dibawa mengunjungi Putra Jaya, ibu kota baru pengganti Kuala Lumpur itu. Kebetulan, selama tiga hari di Malaysia, rombongan jurnalis dari Indonesia ini ditemani seorang pemandu wisata keturunan India bernama Arumugan AL Chelliah, yang biasa dipanggil Aru.

Saat bus sampai di jalan utama menuju pusat pemerintahan Malaysia, Aru dengan antusias menjelaskan berbagai gedung dan kelengkapan yang sophisticated dari Putra Jaya. Mulai dari desain bangunan kantor kementerian kerajaan hingga tiang lampu jalan yang semuanya menggunakan tenaga matahari. Tentu tak lupa Aru menjelaskan, betapa dekatnya Putra Jaya dengan Silicon Valley versi Malaysia, yaitu Cyber Jaya.

”Di Cyber Jaya banyak perusahaan IT (teknologi informasi) yang melabur (berinvestasi), termasuk Bill Gates dengan Microsoft-nya yang melabur 1 juta US dollar,” kata Aru. Meski soal angka investasi Bill Gates ini kami pikir Aru setengah ngawur, tak pelak rombongan jurnalis asal Indonesia ini tetap dibuat tertegun dengan setiap detail penjelasannya.

Aru pun menjelaskan betapa di antara sekian banyak gedung kementerian yang baru dibangun di Putra Jaya tersebut dia terkagum-kagum dengan gedung kementerian kehakiman, yang menurut dia ”Mirip Taj Mahal di India”.

Begitu sampai di ujung jalan utama Putra Jaya, tak jauh dari tempat Dato Sri Najib Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia, berkantor, Aru dengan bersemangat menjelaskan Masjid Putra yang berwarna merah jambu dan terlihat seperti mengambang di tengah danau buatan. ”Inilah masjid yang sangat indah apabila dinikmati menjelang sunset,” katanya.

Namun, Aru tercekat ketika salah seorang rombongan wartawan Indonesia bertanya, ”Aru, kamu, kan, keturunan India dan beragama Hindu. Apakah di Putra Jaya ada pura tempat kamu beribadah yang juga semegah masjid itu?” Sambil tersenyum, Aru menjawab singkat, ”Mungkin ada di luar Putra Jaya.”

Sebenarnya, penjelasan pemandu wisata seperti Aru soal Putra Jaya yang begitu antusias seakan menjelaskan betapa memang Malaysia punya keahlian menjual tempat wisata, tak peduli tempat tersebut diskriminatif bagi si penjualnya langsung. Inilah salah satu kepintaran Malaysia mengemas citra elok mereka sebagai tujuan wisata utama dunia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Mobil Pribadi Dilarang

Pemerintah akhirnya memutuskan melarang seluruh kendaraan bermotor roda empat pribadi menggunakan bensin bersubsidi. Aturan ini diberlakukan bertahap mulai 1 Januari 2011 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan dilanjutkan ke seluruh Jawa dan Bali.

”Setelah menimbang dua opsi yang ada, ternyata yang lebih siap adalah opsi pertama,” ujar anggota Komite Badan Pengawas Kegiatan Hilir Migas, Ibrahim Hasyim, seusai rapat persiapan pembatasan BBM, Kamis (2/12/2010) di Kantor Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral




Opsi pertama yang disiapkan untuk pengendalian konsumsi BBM bersubsidi adalah BBM subsidi hanya dipakai kendaraan umum pelat kuning, roda dua, roda tiga, dan nelayan.

Adapun opsi kedua, selain kendaraan umum serta kendaraan roda dua dan roda tiga, kendaraan pribadi buatan sebelum tahun 2005 juga bisa menggunakan BBM subsidi. Pilihan pemerintah pada opsi pertama juga disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

”Ya, opsi itu (opsi seluruh kendaraan roda empat atau lebih berpelat hitam dilarang mengonsumsi bensin atau premium). Namun, kami tidak mau mendahului DPR,” kata Hatta.

Menurut Hatta, jika opsi kedua yang dipilih, akan rawan potensi pelanggaran dan distorsi. Oleh karena itu, pemerintah memilih opsi lain, yakni melarang seluruh pemilik kendaraan pribadi atau pelat hitam mengonsumsi BBM bersubsidi.



Berlaku Bertahap
Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Djaelani Sutomo mengemukakan, pembatasan pemakaian BBM diberlakukan bertahap sejalan dengan kesiapan infrastruktur SPBU.

Tahap pertama, mulai 1 Januari 2011, seluruh kendaraan pribadi di Jabodetabek harus beralih ke BBM nonsubsidi. Pilihannya bisa pertamax yang dijual di SPBU Pertamina atau produk sejenis yang didistribusikan peritel badan usaha lain.

”Kami sedang menyiapkan penambahan fasilitas bensin nonsubsidi di sekitar 600 SPBU di Jabodetabek. Saat ini sudah 400 SPBU yang siap, masih kurang 200 SPBU lagi,” ujar Djaelani.

Tahap kedua, mulai Juli 2011, aturan penggunaan BBM nonsubsidi meluas ke seluruh Jawa dan Bali. Ini dengan asumsi mayoritas SPBU di kota-kota besar di Jawa dan Bali sudah memiliki fasilitas BBM nonsubsidi yang memadai.

Tahap ketiga, pembatasan pemakaian BBM subsidi diberlakukan di luar Jawa dan Bali pada tahun 2012. Pembatasan pemakaian BBM bersubsidi ditargetkan selesai dilakukan tahun 2013. Tahap pertama dan kedua pembatasan hanya untuk premium, selanjutnya menyusul solar.

Pertamina memperkirakan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi mulai Januari 2011 di Jabodetabek menghemat kuota bensin bersubsidi 500.000 kiloliter. Penghematan akan menjadi 4 juta kiloliter jika mulai diberlakukan di seluruh Jawa dan Bali.

Ibrahim Hasyim memastikan tidak ada pembatasan volume BBM subsidi untuk kendaraan umum serta kendaraan roda dua dan roda tiga. Untuk memperketat pengawasan, BPH Migas menyiapkan pendistribusian BBM bersubsidi dengan sistem tertutup.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

etika profesi

Beberapa contoh penerapan moral bisnis dalam perusahaan :
• Moral Bisnis itu diterapkan secara internal dan eksternal. Bisnis yang beretika memperlakukan setiap konsumen dan karyawannya dengan bermartabat dan adil. Moral juga diterapkan di dalam ruang rapat direksi, ruang negosiasi, di dalam menepati janji, dalam memenuhi kewajiban terhadap karyawan. Singkatnya, ruang lingkup Moral bisnis itu universal.
• Moral Bisnis itu membutuhkan keuntungan. Bisnis yang bermoral adalah bisnis yang dikelola dengan baik, memiliki sistem kendali internal dan bertumbuh. Moral adalah berkenaan dengan bagaimana kita hidup pada saat ini dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Bisnis yang tidak punya rencana untuk menghasilkan keuntungan bukanlah perusahaan yang bermoral.
• Moral Bisnis itu berdasarkan nilai. Perusahaan yang bermoral harus merumuskan standar nilai secara tertulis. Rumusan ini bersifat spesifik, tetapi berlaku secara umum. Moral menyangkut norma, nilai dan harapan yang ideal. Meski begitu, perumusannya harus jelas dan dapat dilaksanakan dalam pekerjaan sehari-hari.




 Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menciptakan etika bisnis berserta contohnya :
• Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) :
Adalah tidak berbuat curang kepada perusahaan yaitu korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencermankan nama bangsa dan negara.
Contoh : - seorang manager harus dapat menyimpan semua informasi tentang data perusahaan.


• Pengembangan tanggung jawab social
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
Contoh : pada saat kita menjalankan bisnis, dan usaha bisnis yang kita lakukan dapat merugikan masyarakat yang ada disekitar,kita harus dapat bertanggung jawab dengan masalah itu.


• Menciptakan persaingan yang sehat
Artinya, Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efesiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menegah bawah.
Contoh : - dalam memajukan bisnis yang kita jalani, harus bersaing dengan sehat dengan pembisnis lainnya, dengan cara yang masuk akal dan tidak merugikan pihak lain.


 Ada 4 kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh sebuah profesi,yaitu :
1) Krediabilitas
nilai kerja suatu perusahaan atau seseorang yang mampu menunjukkan suatu kinerja yang sangat baik bagi perusahaan sehingga mendatangkan kebaikan bagi si perusahaan tersebut..
Contoh :Seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya harus dapat dipercaya oleh atasanya, jika dia dipercaya oleh atasanya maka jabatan dia akan dinaikkan.
2) Profesionalisme
Profesionalisme berasal dan kata profesional yang mempunyai makna yaitu berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Sedangkan profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang yang professional.
Contoh : seorang direktur memperkerjakan karyawannya karena profeionalismenya, bukan silihat dari sisi kekeluargaanya.
3) Kualitas jasa
kualitas jasa dapat diperoleh dengan cara membandingkan antara pengharapan konsumen dengan penilaian mereka terhadap kinerja yang sebenarnya.Setelah menerima pelayanan, konsumen akan membandingkan antara pelayanan yang diharapkan dan pelayanan yang mereka terima. Jika pelayanan yang diterima berada di bawah pelayanan yang diharapkan, konsumen akan tidak puas dan kehilangan kepercayaan terhadap penyedia jasa tersebut. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima sesuai atau melebihi pelayanan yang diharapkan, konsumen akan puas. Jadi kuncinya adalah menyesuaikan atau melebihi harapan konsumen.
Contoh :dalam melakukan suatu usaha atau bisnis dapat menghasilkan barang atau jasa yang berkualitas baik, agar konsumen tertarik dan terus menggunakan barang atau jasa yang kita bisniskan.
4) Kepercayaan
Anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu benar atau nyata.
Contoh : dalam menjalankan profesi harus memiliki kepercayaan kepada semua orang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS